Kategori
Perjuangan Papua Barat Sikap Politik dan Solidaritas

Perjuangan “HMNS” bagi Bangsa West Papua dan solidaritas Kota Mataram.

“Pembantaian berabad-abad lamanya dialami  oleh bangsa West Papua, kalian anggap biasa-biasa saja?. Tidak apa, setidaknya saya memperoleh jawaban, bahwa selama ini kalian menutup mata. Tetapi, sebagai seorang manusia yang memiliki hati dan otak,. tidak meneteskan-sedikit-pun air mata atas kejinya kolonial modern Indonesia yang rakyat West Papua tanggungkan. Saya cukup yakin, bahwa hati nurani kalian telah ditutup rapat oleh Tuhan.” (Udil)

“Berbicara persoalan kemanusiaan, hampir setiap waktu menjadi perbincangan di tempat-tempat suci (gereja-gereja), di mimbar-mimbar suci, diskusi-diskusi kaum intelek.Dan tak sebatas itu–bahkan sampai di sudut-sudut gang kecil, pemukiman kumuh, gunung-gunung sampai pada hutan belantara sekalipun. Tapi, sejauh ini,–sebagai arena perdebatan kancah panggung hiburan semata, penghilang luka sementara akibat iritasi, terlebih ialah mewujudkannya.” (Udil)

Sejarah Bangsa West Papua: 

Perjuangan rakyat Papua untuk merdeka lepas dari Kolonialisme Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan penjajahan oleh Imperialisme kini sedang menggema di seantero wilayah Papua. Setelah sebelumnya perjuangan itu dilakukan secara gerilya dan diplomasi di luar negeri (internasional), maka sejak bergulirnya Reformasi di Indonesia (1998) tuntutan itu disampaikan secara terbuka, terutama di Indonesia tanpa meninggalkan perjuangan dengan cara/tindakan gerilya.

Sementara tuntutan itu bergulir, Indonesia yang secara real politik menguasai wilayah Papua dan Negara-negara Imperialis yang secara real ekonomi yang menguasai Papua “keras kepala” untuk tidak mendengarkan tuntutan kemerdekaan tersebut. Tuntutan kemerdekaan Papua dianggap sebagai sebuah upaya ilegal (melawan hukum atau tidak sah) sehingga rakyat Papua diberikan beberapa cap konyol seperti separatis, makar, anti pembangunan, goblok, pemberontak dan lainnya. Semua cap ini menjadi “surat izin” yang resmi bagi Kolonial Indonesia untuk tetap menanamkan hegemoninya lewat praktek penjajahan seperti pemberian “paket” Otonomi Khusus, Pemekaran Wilayah (Propinsi/Kabupaten), UP4B, pembunuhan, pemerkosaan, penanggapan dan pemenjaraan sewenang-wenang di luar jalur hukum, penyiksaan dan beberapa jenis kejahatan lainnya. 

Walaupun demikian, rakyat Papua yang berpegang teguh pada keyakinan politiknya tidak menyerah. Sebaliknya “api perjuangan” dikobarkan terus-menerus untuk tetap melanjutkan aksi perlawanan dengan tuntutan utama “Papua Merdeka”. Tuntutan itu bisa dilihat dari beberapa kejadian, di mana-mana dan di berbagai kalangan. Salah satu contoh adalah pembunuhan tiga orang Brimob yang menjaga keamanan PT. Freeport-Rio Tinto oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) dibawah pimpinan Gen. TPN-PB Goliath Tabuni, 43 orang Papua mencari suaka politik ke Australia, aksi mahasiswa Papua dimana-mana dengan tuntutan peninjauan kembali status politik Papua Barat, penarikan militer dari Papua, tutup Freeport dan lainnya. Perjuangan itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri, di luar negeri pun perjuangan untuk kemerdekaan Papua sedang marak yang dilakukan oleh para diplomat Papua yang didukung oleh berbagai Support Groups of West Papua Independence. Juga bukan hanya orang Papua asli yang memperjuangkan kemerdekaan Papua, tetapi diperjuangkan juga oleh orang non-Papua baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa rakyat Papua “keras kepala” untuk minta merdeka? Mengapa Indonesia dan Negara-negara Imperialis juga “keras kepala” untuk tetap mempertahankan wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI? Tentunya punya alasan dan akar masalah. Untuk melihat alasan dan akar masalah, maka sejarah Papua harus dipaparkan dan dipahami secara benar, selanjutnya harus dicari solusi atau upaya perjuangan yang harus dilakukan oleh rakyat Papua dan pendukungnya, tentu saja di dalamnya ada mahasiswa sebagai bagian dari rakyat Papua yang merupakan pelopor dalam perjuangan. Hal itu akan menjawab pertanyaan mengapa rakyat Papua menuntut merdeka?  

Untuk menemukan “akar masalah” Papua yang sesungguhnya, maka dibawah ini dipaparkan sekilas sejarah kemerdekaan Papua dan dinamika politik penjajahan di Papua. 

Hubungan Sejarah Indonesia dan Papua Barat 

Tidak dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah. Sementara aksi pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang harus dipelajari dan dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang terbaik bagi penyelesaian status politik wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Indonesia. 

Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua Barat, maka beberapa hal perlu dikemukakan. Pertama, sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat. Kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah. Ketiga, alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia. Keempat, sejarah kemerdekaan Papua Barat. Kelima, proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Keenam, sejarah dalam kekuasaan Orde Baru dan terakhir masa kebangkitan Papua Barat Kedua (Era Reformasi Indonesia).

1. Sejarah Hidup Indonesia dan Papua Barat

Dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay.

Selain kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing), juga sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Bangsa Papua adalah ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid. Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri dengan karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga tindakan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah. Hal itu pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal, bahwa:

“Dalam kehidupan sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api kebun Indonesia apabila mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah bercerita kepada kami bahwa kami punya dendam perang dengan keturunan Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa Papua tahu dan sadar akan diri kami bahwa kami berbeda dengan bangsa Indonesia. …Bangsa Papua termasuk ras Negroid mendiami kepulauan Melanesia di  Pasifik selatan, karena bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid dan Austronosoid yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.”

Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang bernama Indonesia. Alasan bahwa Indonesia dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang sama sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah sema sekali tidak obyektif, sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari wilayah  Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di Indonesia untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi orang Papua (meng-Indonesia-kan orang Papua)

2. Hubungan Sejarah Perjuangan Indonesia dan Papua Barat

Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina. Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke. Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan  musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing. 

Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu. Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka  biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.

Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat). Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat. 

Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian itu, ternyata pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian Barat Perjuangan.

Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat tetap menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda. Beberapa persitiwa politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah: 

a. Sebelum penandatangan Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda pernah menyatakan agar Papua Barat dapat menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah tersebut tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.

b. Dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda. Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”

c. Dalam konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan surat Keputusan Para Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15 April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan masalah Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission for Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan. 

d. Karena dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika.

Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat. 

3. Sejarah Kemerdekaan Papua Barat 

Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.

Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari). Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:

1. Menetukan nama Negara : Papua Barat

2. Menentukan lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua

3. Menentukan bendera Negara : Bintang Kejora

4. Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.

Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.

     Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.

Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan de jure sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. 

4. Alasan Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia

Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:

1. Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial 

2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.

Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus). Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu. 

Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua Barat. Keempat klaim itu adalah: 

1. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.

2. Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”.

3. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda.

4. Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda. Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.

Apakah keempat klaim – sebagai alasan mengusai Papua Barat – ini benar? Mari kita buktikan.

1. Klaim atas Kekuasaan Majapahit

Kerajaan Majapahit (1293-1520) lahir di Jawa Timur dan memperoleh kejayaannya di bawah raja Hayam Wuruk Rajasanagara (1350-1389). Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri Belanda memuat ringkasan sejarah Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit pada jaman Gajah Mada mencakup sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan Indonesia mengklaim bahwa batas wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar hingga ke pulau Pas (Chili).

Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti sejarah berupa ceritera tertulis maupun lisan atau benda-benda sejarah lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah untuk membuat suatu analisa dengan definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari kerajaan Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak memenuhi prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat, khususnya sejarah tertulis. 

Berkaitan dengan kekuasaan wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia, secara jelas dijelaskan panjang lebar oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit, dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 disebutkan bahwa kerajaan Majapahit mempunyai wilayah yang luas sekali, baik di kepulauan Nusantara maupun di semenanjung Melayu. Pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa yang paling jauh tersebut dalam pupuh 14/15 ialah deretan pulau Ambon dan Maluku, Seram dan Timor; semenajung Melayu disebut nama-nama Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai. Demikianlah, wilayah kerajaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama meluputi wilayah yang lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia sekarang. Hanya Irian yang tidak tersebut sebagai batas yang terjauh di sebelah timur. Boleh dikatakan bahwa batas sebelah timur kerajaan Majapahit ialah kepulauan Maluku. Ini berarti Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena itu sudah jelas bahwa Soekarno telah memanipulasikan sejarah.

2. Klaim atas Kekuasaan Tidore

Di dalam suatu pernyataan yang di lakukan antara sultan Tidore dengan VOC pada tahun 1660, secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa kepulauan Papua atau pulau-pulau yang termasuk di dalamnya merupakan daerah kesultanan Tidore.

Soekarno mengklaim bahwa kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian Timur”, maka Papua Barat merupakan bagian daripadanya. Di samping itu, Soekarno mengklaim bahwa raja-raja di kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pernah mengadakan hubungan dengan sultan Tidore.

Apakah kedua klaim dari sultan Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan secara ilmiah? Gubernur kepulauan Banda, Keyts melaporkan pada tahun 1678 bahwa dia tidak menemukan bukti adanya kekuasaan Tidore di Papua Barat. Pada tahun 1679 Keyts menulis lagi bahwa sultan Tidore tidak perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat.

Menurut laporan dari kapten Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur Ternate (1778) terbukti bahwa kekuasaan sultan Tidore di Papua Barat betul-betul tidak kelihatan.

Pada tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate dan Tidore yang disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah sekitar Kepala Burung) akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan Tidore.

Kontrak ini dibuat di luar ketahuan dan keinginan rakyat Papua Barat. Berbagai penulis melaporkan, bahwa yang diklaim oleh sultan Tidore dengan nama Papua adalah pulau Misol. Bukan daratan Papua seluruhnya.

Ketika sultan Tidore mengadakan perjalanan keliling ke Papua Barat pada bulan Maret 1949, rakyat Papua Barat tidak menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari kesultanan Tidore. Adanya raja-raja di Papua Barat bagian barat, sama sekali tidak dapat dibuktikan dengan teori yang benar. Lahirnya sebutan ‘Raja Ampat’ berasal dari mitos. Raja Ampat berasal dari telur burung Maleo (ayam hutan). Dari telur-telur itu lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi raja.

Mitos ini memberikan bukti, bahwa tidak pernah terdapat raja-raja di kepulauan Raja Ampat menurut kenyataan yang sebenarnya. Rakyat Papua Barat pernah mengenal seorang pemimpin armada laut asal Biak: Kurabesi, yang menurut F.C. Kamma, pernah mengadakan penjelajahan sampai ke ujung barat Papua Barat. Kurabesi kemudian kawin dengan putri sultan Tidore. Adanya armada Kurabesi dapat memberikan kesangsian terhadap kehadiran kekuasaan asing di Papua Barat.

Pada tahun 1848 dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah Hindia Belanda (Indonesia jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana pesisir barat-laut dan barat-daya Papua Barat merupakan daerah teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan dengan harapan untuk mencegah digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat penetrasi Inggris ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya hanya merupakan vassal proportion (hubungan antara seorang yang menduduki tanah dengan janji memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah) terhadap kedaulatan kekuasaan

Belanda, tulis C.S.I.J. Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1861 untuk mengurus perjalanan hongi (hongi-tochten, di dalam bahasa Belanda). Ketika itu banyak pelaut asal Biak yang berhongi (berlayar) sampai ke Tidore. Menurut C.S.I.J. Lagerberg hongi asal Biak merupakan pembajakan laut, tapi menurut bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu merupakan usaha menghalau penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah asing itu dilakukan hingga ke Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak, sultan Tidore diberi mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Jadi, justru yang terjadi ketika itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan atas teritorial Papua Barat. Setelah pada tahun 1880-an Jerman dan Inggris secara nyata menjajah Papua New Guinea, maka Belanda juga secara nyata memulai penjajahannya di Papua Barat pada tahun 1898 dengan membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan otonomi (zelfbestuursgebied) Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota Manokwari dan bagian selatan dengan ibukota Fakfak. Jadi, ketika itu daerah pemerintahan Manokwari dan Fakfak berada di bawah keresidenan Tidore.

Mengenai manipulasi sejarah berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat ini, Dr. George Junus Aditjondro menyatakan bahwa:

“Kita mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena kesultanan Tidore mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai teluk Yotefa mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum merasa otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore? Belanda mundur, Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu mitos. Sejak kapan berbagai daerah di Papua barat takluk kepada Tidore?… Saya kira tidak. Yang ada adalah hubungan vertikal antara Tidore dan Papua Barat, tidak ada kekuasaan Tidore untuk menaklukan Papua Barat. Atas dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas seluruh Hindia Belanda dulu, merupakan imajinasi.”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Tidore. 

3. Klaim atas kekuasaan Hindia Belanda

Secara historis penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea). 

Juga perlu diingat bahwa walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina (Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).

Selain itu saat tertanam dan tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua

Barat tidak bertepatan waktu dengan yang terjadi di Indonesia.  Kurun waktunya berbeda, di mana Indonesia dijajah selama tiga setengah abad sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun (1898-1962). Tanggal 24 Agustus 1828, ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak. Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda. 

4. Menghalau Pengaruh Imperialisme Barat di Asia Tenggara.

Soekarno mengancam akan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia.

Maka Amerika Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika Serikat) pada tahun 1961. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat.

Untuk mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.

5. Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969

Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:

1. New York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.

2. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.

3. Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan  dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu.

4. Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut:

“Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar.”

Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.

Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.

Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971. 

Berikut ini adalah jadwal pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan berdasarkan unsur, dan jumlah wakil/utusan yang memberikan pendapat.

6. Papua Barat dalam Kekuasaan Indonesia (Era Negara Orde Baru-NOB)

Banyak peristiwa politik dalam memperjuangan kemerdekaan Papua Barat yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat terutama oleh OPM pasca Penentuan Pendapat Rakyat 1969, tetapi secara umum di sini hanya akan dikemukakan empat peristiwa penting dalam upaya untuk memerdekakan Papua Barat dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

7. Pasca kejatuhan Rejim Orde Baru (Reformasi-sekarang)

Menilik rentetan pristiwa dan sejarah Bangsa Papua Barat sesingkat-singkat mungkin di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengintgrasian Bangsa Papua Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah melanggar hukum nasional dan Internasional bahkan jauh dari pada itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), baik sejak PEPERA 1969-Sekarang rakyat Bangsa West Papua tetap menuntut di kembalikan kemerdekaan yang di rampas oleh “Kolonialisme Modern Indonesia” yang selama ini mereka perjuangkan dengan penuh pengorbanan, air mata dan darah. Rejim ke rejim perjuangan bangsa Papua Barat tidak pernah sekalipun mengendorkan perjuangan mereka bahkan setiap tahunnya perlawanan untuk melawan kolonialisme indonesia semakin masif mereka tunjukkan,–baik di tanah Papua, Indonesia dan Internasional.

Di Indonesia gejolak perlawanan rakyat Papua melalui mahasiswa sebagai plopor perlawanan,–telah di tunjukkan begitu rupa: di kampus-kampus, jalan-jalan, diskusi-diskusi bahkan aksi-aksi. Tak sekedar itu rakyat papua dengan sendiri menunjukkan kekonsistenya dalam gerakan yang anti kompromis kepada pemerintah indonesia dengan cara inilah gerakan-gerakan bangsa papua menemukan simpati dan sekutu gerakan terlebih dalam organisasi-organisasi “kiri” di indonesia sebut saja: mereka tergabung dalam Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP).

8. Kepentingan Ekonomi dan Politik

Mendengar kata Papua, tentu dunia internasional melirik itu, terlebih kukungan para rakus (kapitalis-imperialis). Kekayaan sumber daya alam yang besar di Papua yang dikendalikan dari Jakarta (AMDAL, PMA, dst). Bisnis ini memberikan keuntungan yang besar. Tapi semua kekayaan ini tidak mengubah kondisi rakyat Papua. Sebagai contoh pada tahun 2019, sebelum pandemi COVID-19, PDB Papua mengalami kontraksi sebesar 7,4% sedangkan PDB nasional tumbuh lebih dari 5%. Meskipun pemerintahan Indonesia memberikan dana otonomi khusus, tapi semuanya itu tidak sebanding dengan semua kekayaan yang di rampok ke pusat (Pemerintah Jakarta).

Sementara rakyat Papua masih berkubang dengan kemiskinan dan gizi buruk, elite-elite kapitalis di Jakarta terus memperkaya dirinya. Demi menjaga eksploitasi ini tetap berjalan, pemerintahan Indonesia mengerahkan begitu banyak tentara. Menurut Victor Yeimo, Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dalam 3 tahun terakhir Indonesia telah mengirim lebih dari 21 ribu personil militer. Kehadiran militer (TNI/POLRI) dapat juga di temukan sumbernya melalui terbitan-terbitan karya Dr. Socratez Yoman “PEMEKARAN DAN KOLONIALISME MODERN DI PAPUA” di dalam buku yang di tulis pada 12 Juli 2022: Pada 17 Januari 2022 hingga 31 Desember 2022, polri menggelar Operasi Nemangkawi, dengan total 1.925 personel yang terdiri dari 528 personel Polda Papua, 1.296 personel dari Mabes Polri serta 101 prajurit TNI.

Penambahan pasukan dan operasi-operasi militer, baik yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia maupun Kepolisian RI, telah menunjukan bahwa Indonesia menggunakan militer untuk mengontrol wilayah dan masyarakat Papua. 

Selain membentuk milisi untuk merepresi perlawanan-perlawanan yang ada di Papua, militer juga sengaja dikerahkan guna mengamankan setiap proyek infrastruktur yang ditujukan untuk menunjang semua bentuk eksploitasi dari Jakarta dan perusahaan multinasional. Teritorial-teritorial militer di bentuk negara Indonesia di atas tanah Papua. Bahkan sering juga menggunakan banyak gedung-gedung serta fasilitas publik. Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat rentan korbannya warga sipil di Papua.

Di Papua, kita dapat melihat kekayaan emas, hutan dst, dan akan kita temukan akar permasalahannya. Kepentingan korporasi pertambangan di Papua dilayani dan dijaga oleh pemerintahan Indonesia. Angsa emas Papua ini menghasilkan telur-telur emas (dan tembaga) sebesar 3,1 miliar dolar AS pada tahun “2015”, dan oleh karenanya tidak boleh terusik oleh hak-hak demokratik rakyat Papua. Segala manifestasi demokratik yang mengancam angsa emas ini maka dari itu harus ditumpas dengan kejam.

Dilansir pendapatan Negara Indonesia dari hasil perut bumi PT. Free Port McMoran pertahun kisaran 1.400 Triluin.

Tetapi, jika kita menganalisa sejak 7 April 1967-Sekarang–tambang emas ini beroperasi dan mengahsilkan kapital sebesar itu, kemana dibawa hasilnya, tentu disini keluar semacam pertanyaan: hasil pengerukan emas untuk kesejahteraan indonesia, rakyat papua atau rakyat yang mana? 

Kita ketahui bersama total jumlah utang luar negri (ULN) Negara Indonesia sejak tahun: per-november 2023 sebesar US$ 400.9 miliar atau setara dengan Rp6.235,95 Triliun rupiah. Melonjak pasca pemilu lalu: 2.0 persen. Sedangkan hasil dari Free Port sendiri Rp1.400 Triliun, belum lagi dari hasil-hasil eksploitas sumber daya alam lainnya. Itu sebab papua di pertahankan untuk kepentingan akumulasi modal kapitalis nasional dan imperialis.

Kepentingan korporasi Freeport menentang hak penentuan nasib sendiri Papua karena ini dapat membuka prospek gerakan nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan tambang. Setelah memutuskan untuk bebas dari Indonesia, tidak menutup kemungkinan kalau rakyat Papua juga akan memutuskan untuk bebas dari Freeport, terutama karena Freeport telah memainkan peran sentral dalam menjajah Papua.

Persis apa yang dikatakan oleh Lenin (Negara dan Revolusi): “negara adalah suatu alat dari kekuasaan kelas, suatu alat untuk menindas kelas yang satu oleh kelas lainnya; adalah ciptaan ‘susunan tata-tertib’ yang mengesahkan dan mengekalkan penindasan ini dengan melunakkan bentrokan antarkelas.” dan menyatakan bahwa negara adalah kekuasaan yang timbul dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan diri dari masyarakat. Adapun negara atau kekuasaan tersebut pada pokoknya terdiri dari “badan khusus orang-orang bersenjata yang memiliki penjara, dsb”.

9. Solidaritas Indonesia Untuk Bangsa Papua

Persoalan kemanusiaan yang begitu rupa yang terjadi di atas tanah Bangsa West Papua menjadi perhatian di seantero dunia, termasuk di Indonesia. Rakyat Indonesia yang sadar akan persoalan kemanusiaan di Papua atas alasan-alasan yang di paparkan sebelumnya, mulai dari: Sejarah, Ekonomi dan Politik, memberi angin segar dan perlawanan akan pembebasan bagi Bangsa Papua Barat untuk “Hak Menentukan Nasib Sendiri” sebagai bangsa yanh merdeka.

Rakyat Indonesia sendiri membentuk Front persatuan untuk menunjukkan empati terhadap bangsa tertindas secara revolusioner. Sehingga terbentuklah satu wadah yang terorganisir dan tersentral atas segala persoalan di papua yaitu, Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua singkatnya (FRI-WP). 

FRI-WP sendiri salah satunya bertujuan untuk mendorong kesadaran massa terhadap persoalan kemanusiaan di papua secara “khusus” baik (Ekonomi dan Politik. Dan mendorong elemen termaju untuk terlibat langsung dalam perjuangan pembebasan papua barat secara “umum” di kalangan muda/intelektual. Tuntutan solidaritas itulah yang dapat memperkokoh jalannya,–agenda dan aksi-aksi dalam tubuh FRI-WP sampai dengan hari ini.

10. FRI-WP Mataram dan AMP KK Lombok

Seperti yang di katakan Bertrad Russell:

“Manusia terlahir dalam kondisi tidak tahu, bukan bodoh. Mereka dibuat menjadi bodoh oleh sistem pendidikan.”

Kekerasan militerisme di Papua terhadap masyarakat sipil yang viral pertengahan bulan maret 2024, meskipun penyiksaan tersebut terjadi pada bulan Februari 2024 lalu, tetapi dengan beredarnya video penyiksaan tersebut menuai banyak respon dari kalangan Internasional, di Mataram sendiri menyikapinya dengan melalukan perlawanan berupa demonstrasi yang melibatkan kaum muda/mahasiswa, AMP, FRI-WP, IMAPA dan PMKRI pada tanggal 28 Maret 2024 lalu–dalam mendorong aksi protes langsung di depan Kantor Kementrian Hukum dan HAM. Provinsi Nusa Tenggara Barat. 

Aksi tersebut sebagai bentuk amukan amarah kaum muda dan mahasiswa yang bermunculan dan masif terjadi di atas tanah Papua, meskipun bentuk aksi sebagai spontanitas gerakan yang ada di baru muncul kembali pada tahun 2024 setelah sebelumnya terjadi di tahun 2019–sehingga kondisi gerakan di mataram memberi kita pelajaran dan pengalaman atas solusi dan pembacaan gerakan kedepannya dan bagaimana kembali membangun dan menghidupkannya.

Melalui agenda penyatuan gerakan tersebut memberi angin segar bahwa disini terdapat kemajuan massa aksi yang kita ketahui pada dasarnya persoalan mengenai isu free west papua terisolasi di berbagai belahan kota termasuk di Kota Mataram. Persis seperti apa yang di sampaikan Comune 2020 silam, dalam artikel dan kumpulan surat untuk kamerad:

“Dari awal perjuangan kita adalah perjuangan yang sangat beresiko. Kita tahu bahwa negara tidak pernah menjadi wasit yang adil dalam pertentangan kelas. Negara hanyalah alat bagi kelas penindas, pada akhirnya sangatlah tepat apa yang disampaikan oleh Lenin: ‘negara adalah badan orang-orang bersenjata’. Kapitalisme telah munyulam dunia menjadi dunia yang sangat busuk. Kapitalisme menjajah di segala lini, untuk mendorong eksploitasi, akumulasi dan ekspansi kekuatan modal. Jalan yang kita tempuh ialah jalan yang cukup terjang, terutama di dunia barang dagangan yang menawarkan barang tetapi tidak tergapai kaum jelata.

Dalam melanjutkan perjuangan pembebasan nasional Indonesia dan Papua, PEMBEBASAN Mataram dan AMP Lombok melancarkan beragam programnya. Terutama dengan melaksanakan kerja-kerja di Komite Aksi Kamisan Mataram, mengonsolidasikan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Lombok, membangun Lingkar Studi Progresif dan Lingkar Studi Revolusioner, hingga mengintervensi gerakan mahasiswa di UBG Mataram. Melalui aktivitas-aktivitas politik inilah sederet pengalaman kembali dituliskan dan dikumpulkan menjadi seabrek pustaka digital (https://apipembebasan.wordpress.com/ebook-terbitan-kami)

Kita mengetahui secara bersama krisis kapitalisme ini sangat berdampak signifikan bagi gerakan-gerakan sosial dan politik yang sedang bermunculan dan sudah lama muncul terdemoralisasi, termasuk gerakan-gerakan yang ada di mataram, melalui rentetan sejarah gerakan dari tahun ke tahun. Mesti kita secara kritis menganalisis hal tersebut. 

Di berbagai kota, termasuk di Mataram, pendidikan-pendidikan politik, kerja-kerja persiapan dan propaganda, atau organisasi dan agitasi sedang mengalami kemunduran/terdemoralisasi. Pertempuran-pertempuran terbuka melawan negara dengan orientasi politik yang tidak memadai telah membawa pada keretakan. Partai atau organisasi tertekan oleh kekuatan-kekuatan politik-asing, dan kekerasan kepala individu yang teradikalisasi.

Kita mesti belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya,  menyiapakan kepemimpinan dan terorganisirnya massa membentuk gerakan yang revolusioner,-dan hal itu membutuhkan kesabaran dan kegigihan yang ekstra. Melawan dan menyerang dengan tepat dan mundur secara teratur dalam kondisi-kondisi tertentu, untuk menjaga gerakan, merawat massa dan menangkal keretakan internal. Memahami karakteristik dan mental massa, masyarakat sipil dan penguatan teori revolusioner yang gerakan butuhkan pada moment-moment ini, sigap dalam bertindak lentur dalam mendorong dan fleksibel dalam menyatukan gerakan untuk pembebasan nasional papua barat dan membangun dunia baru tanpa penindasan (sosialisme).

“Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati.” (George Orwell)

10. Penutup

Hak penentuan nasib sendiri bukan hak yang berdiri sendiri tetapi terkait pula dengan masalah ekonomi. Untuk menyelesaikan kemiskinan dan ketertinggalan yang teramat parah di Papua maka kekayaan alam Papua harus didedikasikan sepenuhnya untuk program-program kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur yang ambisius, bukan untuk diboyong ke bursa-bursa saham seperti New York dan London. Di sini kita bisa melihat kalau perjuangan hak penentuan nasib sendiri adalah ancaman besar bagi kepentingan kapitalisme, khususnya modal asing, yang tidak terbatas pada Amerika Serikat saja karena suplai/perdagangan emas dan tembaga, serta min yak bumi dan LNG, adalah masalah kepentingan kapital sedunia.

Bila seperti yang telah di paparkan bagaimana perjuangan pembebasan nasional papua barat adalah ancaman bagi kepentingan modal asing, maka kita juga perlu kritis terhadap pendekatan yang bersandarkan pada dukungan dari apa yang kerap disebut “komunitas internasional”. Kalau yang dimaksud adalah menggalang dukungan rakyat pekerja di negeri-negeri lain, maka ini adalah metode yang efektif. Solidaritas rakyat pekerja yang tertindas adalah senjata yang kuat dalam melawan penjajahan di muka bumi. 

Suara yang terus hadir adalah suara menuntut kebebasan. Suara-suara ini menarik anak-anak muda Papua. Suara-suara ini tidak bisa diredam dengan represi dan kekerasan. Satu-satunya jalan adalah memberikan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Kita sebagai kaum revolusioner di negeri penindas membela hak ini. Kita akan melawan kelas penguasa borjuasi di negeri kita yang bertanggung jawab atas penindasan nasional terhadap rakyat Papua. Dengan melawan kelas penguasa borjuasi di negeri kita sendiri, kaum revolusioner Indonesia akan membangun persatuan yang nyata antara seluruh rakyat tertindas di Indonesia dan Papua.

“Negara adalah suatu alat dari kekuasaan kelas, suatu alat untuk menindas kelas yang satu oleh kelas lainnya; adalah ciptaan ‘susunan tata-tertib’ yang mengesahkan dan mengekalkan penindasan ini dengan melunakkan bentrokan antarkelas.” dan menyatakan bahwa negara adalah kekuasaan yang timbul dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan diri dari masyarakat. Adapun negara atau kekuasaan tersebut pada pokoknya terdiri dari “badan khusus orang-orang bersenjata yang memiliki penjara, dsb”.

Tinggalkan komentar