Belajar dan Berjuanglah bersama Kami

“Melakukan yang benar bisa berbahaya ketika pemerintah salah (Voltaire); bila tiang utama sistem adalah hidup dalam kebohongan, maka tak mengherankan apabila ancaman utamanya adalah hidup dalam kebenaran (Havel). Kebenaran itu seperti matahari. Kamu dapat menutupinya sementara waktu, tetapi dia tidak pernah hilang sama sekali (Presley).”

Harus kami akui: negara (alat-alat represi ideologi, fisik, dan hukum) adalah ancaman utama buat tumbuh. Di kampus-kampus, mereka mendekati birokrasi kampus dan organisasi mahasiswa oportunis maupun sektarian–bukan hanya untuk mengontrol dan mengawasi, tapi juga menyebarkan stigma dan fitnah. Di jalanan, tongkrongan, rumah dan lingkungan keluarga–mereka juga gampang sekali mengirim elemen kekuatan fasis guna melancarkan teror, intimidasi, hingga mengambinghitamkan kami.

Inilah perjuangan kami: menantang sekaligus berkalang bahaya. Meski semua itu mengandung resiko, tapi kami masih bisa bergembira. Sebab, hanya di medan juanglah kami mampu menempuh kehidupan yang bermakna. Hidup macam ini tak dapat diajuk dari keberhasilan dan kegagalan, untung dan rugi; melainkan keyakinan dan prinsip sekeras baja.

“Jika kalian ingin pintar, berjejaring, dan bersenang-senang, maka abaikanlah kami. Tetapi bila kalian mau belajar, berjuang dan membangkang, maka bergabunglah bersama kami. Kita akan saling menjaga dan menjadi berbahaya bersama. Kita adalah benih perlawanan yang akan tumbuh dan menghancurkan tembok-tembok status-quo.”

Dalam perjuangan ini kekuatan kami adalah keyakinan. Kami yakin: akan tumbuh dan berkembang meski bahaya mengepung. Kami tidak sedang mencari pujian atau belas kasihan, melainkan berjuang mempertahankan kehidupan dan kebebasan. Kami boleh saja kecil dan rapuh, tapi dapat membakar dan menjadi ancaman bagi tatanan. Kami berpengharapan pada masa-masa yang akan datang: dunia lain itu mungkin!

“Salah satu yang luar biasa mengenai kejadian-kejadian manusiawi adalah hal-hal yang tak terpikirkan menjadi bisa terpikirkan (Salman Rushdie). Seperti meriam yang tersembunyi di balik setangkai bunga (Robert Schumann).”

Kenapa Kami Mengajak Belajar dan Berjuang?

“Kita adalah ‘minjung’, rakyat jelata yang harus merubah rasa rendah diri menjadi percaya diri. Rasa malu menjadi kebanggaan, ketakutan dan pengecut menjadi kemarahan dan keberanian, kebisuan dan pasrah diri menjadi kritis dan setia berjuang….” (Chun Tae-il)

“…keadilan tidak bisa ditunda oleh janji, apalagi kesepakatan. Keadilan dihadirkan dengan perjuangan, pertarungan, dan perebutan.” (Eko Prasetyo)

Atas nama investasi dan pembangunan kehidupan kita jatuh dalam kubangan sejarah mengerikan. Horor kekerasan bergentayangan. Setan-setan bersenjata beraksi tidak karuan: tanah-tanah kaum miskin kota digusur; daerah tangkapan nelayan diserobot kasar; lahan-lahan petani dirampas: serikat-serikat buruh diberangus; hutan-hutan adat diobrak vulgar; sekolah dan kampus-kampus disisir; rakyat-bangsa pemilik kekayaan alam dianiaya, dihilangkan paksa, dilecehkan dan diperkosa, dibunuh dan dibantai.

Kawan, mungkin suata hari kelak: kitalah yang akan menjadi sasaran selanjutnya. Ya, boleh jadi: kami, kalian, serta semua orang yang kita kasihi–bakal dijadikan sebagai korban pula. Sebab, kita tinggal dalam suatu negeri yang tidak memanusiakan manusia. Nyawa, jiwa dan raga kita bahkan tak lebih berharga dari laba. Demi mengejar keuntungan, maka negara dan kelas penguasa gampang sekali menjadikan kita sebagai target kebrutannya.

Kami pikir kalian telah mengerti: bahwa hidup kita sedang diancam tirani. Kebebasan-kebebasan untuk menyampaikan pendapat, berekspresi, dan berasosiasi mulai dilucuti. Hak untuk hidup, merdeka, sehat, dan berpendidikan semakin dikurangi. Setiap hari kita bahkan dikepung bahaya: dikriminalisasi, dicabuli, dihilangkan, dan dibuat mati.

Kekuasaan hari-hari ini memang tegak begitu keji. Di Indonesia dan West Papua–kejahatan-kejahatan kemanusiaan tiada berhenti. Penguasa mengarahkan penegak hukum bukan mengupayakan keadilan, tapi melindungi kekuasaannya. Hasilnya begitu gila: pelanggaran HAM berlangsung tapi tanpa meninggalkan siapa-siapa sebagai pelaku dan jika terungkap siapa penjahat HAM-nya namun musykil untuk dipenjara.

Hukum dan lembaga peradilan kini amat membuat menyeringai. Dalam tiap-tiap letusan tragedi kemanusiaan dilukiskan seperti misteri. Kenyataan tentang penderitaan para korban kemudian disulap jadi cerita fiksi. Inilah mengapa deretan fakta dan pengakuan penyitas tidak pernah dipeduli, berkali-kali diabai, dan seolah tak pernah terjadi.

Di negeri ini: hukum dan hak asasi tidak berarti. Keduanya telah dimakan penguasa hingga diolah jadi ta’i. Makanya lingkungan kita dipenuhi virus dan bakteri. Mereka menerabas berbagai pranata sosial, budaya, agama, seni, politik, dan ekonomi. Olehnya ketidakadilan melenggang dan melanggeng tinggi-tinggi.

Kian ke mari ketidakadilan itu semakin menumpukan persoalan kemanusiaan. Don Helder Camara menyatakan: ketidakadilan merupakan akar dari kekerasan. Maksudnya: setiap ketidakadilan memicu timbulnya sikap dan gerakan berawan. Hanya tiap-tiap perlawanan akan direspon kekuasaan dengan kekerasan. Kekerasan kemudian memperuncing ketidakadilan. Dan ketidakadilan selanjutnya mengonggokan daftar kekerasan. Inilah yang dimaksudnya sebagai ‘Spiral Kekerasan’.

Sekarang kita harus menyangsi: apakah negeri ini masih menganut paham demokrasi ataukah sudah terjun dalam jurang fasisme? Soalnya jika kau hadapan wajahmu ke mana-mana: niscaya akan terlihat kebrutalan yang mengaga! Aparatus represif negara adalah pelakunya. Di tangan mereka setiap orang mungkin bisa mengeritik dan memerotes, tapi tidak mendapat jaminan keselamatan setelah suaranya dilepas. Daripada dilindungi dan mendapat keamanan; rakyat justru dibanduli teror, intimidasi, represi, hingga mudah sekali dituduh telah melakukan praktik kriminalitas.

Berkait itu bukankah kita punya pandangan serupa dan pasti bersepakat: demokrasi telah dirusak bukan oleh rakyat, melainkan kelas penguasa bersama anjing penjaganya—aparat bersenjata terlaknat? Melalui polisi dan tentara, kekuasaan menyulap negeri ini jadi medan tempur. Kekerasan merayap ke beragam lini kehidupan secara vulgar. Itulah mengapa ketika membuka berita: setiap hari dapat kita temukan kesewenang-wenangan menggelegar di banyak sektor:

“Buruh di-PHK karena meminta kenaikan upah atau menentang perlakuan diskriminasi dalam pabrik; petani dikriminalisasi gara-gara menolak perampasan tanah; nelayan dipenjara lantaran melawan pencemaran lingkungan; masyarakat adat diteror dan diintimidasi ketika menjaga kelangsungan hutan-hutan adatnya; kaum miskin kota diperangi saat mempertahankan pemukimannya dari penggusuran; perempuan dituduh melakukan kejahatan padahal membela dirinya dari upaya pemerkosaan; wartawan dibui untuk melindungi nama baik pemangku kepentingan; mahasiswa dan pelajar ditangkap, ditahan, dan kenai DO atas alasan mengganggu keteriban dan keamanan; dan yang terakhir adalah yang paling menegerikan—Rakyat-Bangsa West Papua terus menerus deperlakukan secara rasis, dikirimi militer, dan dipaksakan Otsus guna meredam desakan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis.”

Kawan, sekarang pertanyaanya: melihat itu semua apakah kita cuma akan terus menjadi penonton dan menerima keadaan yang mengerikan ini? Bukankah kalian muak melihat kebuasan, kemerosotan, dan ketidakadilan menyembul di sana-sini? Sampai kapan membiarkan para bajingan menggusur dan menganiaya rakyat miskin kebanyakan, mengeksploitasi kelas pekerja, menjajah bangsa lain, dan melecehkan kaum perempuan? Adakah jaminan kehidupan dalam kepungan tindakan brutal, keji dan lancung? Tidak adakah keinginanmu menyalakan perubahan; atau bahkan membakar, meledakan dan menghancurkan hal-hal yang jauh dari perasaan-perasaan kemanusian dan keadilan?

“Mustahil perubahan terjadi tanpa merubah pikiran, dan mereka yang tidak mengubah pikiran, tidak bisa mengubah apapun.” (George Bernard Shaw)

“Ingatlah selalu! Sebuah buku, sebuah pena, seorang anak muda, seorang kawan studi, dan sebentuk gerakan bersama dapat mengubah dunia.”  (Pepatah)

Kawan, kami yakin: organisasi politik mahasiswa yang kalian butuhkan adalah Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN). Diisi oleh anak-anak muda yang jemu akan keadaan, maka gerakannya berupaya menghadirkan perubahan. Senjata untuk mewujudkannya bukan surat tilang, kontol, borgol, tongkat, pistol, water canon, granat, bayonet dan sepatu lars; melainkan teori revolusioner. Meski teori-teori itu kadung distigma oleh cendala-cendala dari pranata kenegaraan, tapi tak menyurutkan langkah kami dalam menyebarluaskannya. Maka forum-forum diskusi, pendalaman materi, dan aneka program edukasi yang (akan) kami laksanakan sengaja memberi kesempatan kepada individu-individu untuk saling-terhubung mengikutinya.

Kawan, tidakkah kamu bosan atas pembatasan-pembatasan oleh kaki-tangan kekuasaan? Sampai kapan kehidupanmu akan dimekarkan dalam kehinaan, kepongahan, dan kebebalan? Kawan! Kami harap dirimu terbuka mempelajari teori-teori sosial-kritis untuk perubahan. Sekaranglah saatnya kita berjabatangan dengan teori revolusioner. Karena pengetahuan ini amat penting untuk bergelut di dunia yang disesaki penindas.

Ingatlah! Lemahnya kemampuan berfikir kritis dan analitis telah lama membumbungkus pikiran kita dalam pemahaman yang kaku, beku, dan penuh ilusi. Inilah kenapa banyak orang begitu takut terhadap segala yang berbau kiri. Itulah mengapa sejarah gerakan kiri di negeri ini tercatat dengan tinta darah: orang-orangnya disiksa, diperkosa, dibunuh dan dibantai secara berjamaah. Bahkan warisan bacaan kritisnya juga ikut dimusnahkan dengan kobrutalan polisi dan tentara: buku-buku kiri disita dan penjual maupun penerbitnya diancam penjara.

Sekarang tidak mungkin lagi akal sehat dikalahkan oleh pelarangan dan kekerasan-kekerasan yang menakutkan. Saatnya bangunan narasi penindasan diruntuhkan. Itulah mengapa kami menyalakan agenda perlawanan: menjalarkan diskursus counter-hegemony guna melancarkan gerakan dan mendorong perubahan. Waktunya gagasan dan ide-ide yang selama ini dibatasi kelas penguasa dipelajari bersama. Sudah tidak mungkin lagi kebenaran mereka daku seenak jidadnya. Itulah mengapa kalian diajak belajar dan berjuang dengan bersenjatakan teori revolusioner; bergabunglah bersama kami untuk melancarkan gerakan revolusioner!

“Tidak ada gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner.” (V.I. Lenin)

Medan Juang, Perjuangan Sepanjang Kehidupan

Atas nama kaum tertindas, terhisap dan miskin; panjang umur perjuangan,

PEMBEBASAN Kolektif Kota Mataram

***

Kontak untuk Belajar dan Berjuang bersama Kami:

PEMBEBASAN Kolektif Kota Mataram

• 0823-4103-5967 (Kamerad)

PEMBEBASAN Kolektif Komisariat Universitas Muhammadiyah Mataram

• 0823-5909-6353 (Kamerad)

Komite Persiapan PEMBEBASAN Kolektif Komisariat Universitas Negeri Mataram

• 0819-4626-0048 (Kamerad)